Pengelolaan Obat di Rumah
Sakit
Seringkali
terdengar keluhan pasien yang masuk rumah sakit, merasa kesulitan mendapatkan
obat-obat yang diiinginkannya, bahkan banyak di antara mereka yang tidak
mendapatkan obatnya. Masalah menjadi rumit saat kekosongan obat ini berdampak
buruk pada pasien, selanjutnya menjadi konsumsi publik dan menyentuh ranah
hukum pidana. Bila ini terjadi, bisa dipastikan berbagai pihak akan lepas
tangan dan mencari kambing hitam terhadap masalah yang ada.
Pengelolaan
obat di rumah sakit merupakan salah satu komponen penting dalam manajemen rumah
sakit. Pengelolaan obat bertujuan agar obat yang diperlukan bisa selalu
tersedia setiap saat diperlukan dalam jumlah yang cukup, tepat jenis, tepat
waktu dan mutu yang terjamin serta digunakan secara rasional. Jika pengelolaan
tidak efisien akan berdampak negatif terhadap rumah sakit secara medis maupun
ekonomi (Quick et al, 1997). Salah satu tanda tidak efisiennya pengelolaan
adalah obat kosong, saat diperlukan. Bagi konsumen, tidak ada kepentingan bagi
mereka untuk mengetahui rumitnya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan
obat di rumah sakit ini. Namun begitu, yang perlu diketahui oleh masyarakat
adalah bahwa pengelolaan obat di rumah sakit itu melibatkan banyak pihak, tidak
hanya instalasi farmasi saja yang memang berwenang dalam pengelolaan obat.
Bagaimana
sebenarnya tahapan pengelolaan obat rumah sakit? Secara garis besar, tahapan
pengelolaan obat meliputi: seleksi, perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
distribusi dan penggunaan obat. Setiap tahapan tidak mudah dan tidak sederhana.
Seleksi misalnya, merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah
kesehatan di rumah sakit, mengidentifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial serta
melakukan standarisasi, menjaga dan memperbaharui standar obat. Dasar-dasar
seleksi kebutuhan obat tidaklah sembarangan. Obat dipilih berdasarkan seleksi
ilmiah, medis dan statistik yang memberikan efek terapi jauh lebih baik.
Begitu
banyaknya obat yang beredar, tidaklah mungkin bagi rumah sakit untuk
menyediakan semua obat yang ada. Tim di rumah sakit yang melibatkan berbagai
macam profesi harus menyepakati dan menyeleksi obat-obat yang akan digunakan
dan beredar di rumah sakit. Hasil kesepakatan tim ini sering disebut dengan
Daftar Obat Rumah Sakit atau Formularium Obat Rumah Sakit. Pemerintah Republik
Indonesia melalui kementerian kesehatannya juga telah menyusun Formularium
Nasional (ForNas) yang berisi daftar obat-obatan yang dapat digunakan oleh
rumah sakit pemerintah untuk mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang mulai berlaku per 1 Januari 2014, meskipun sebenarnya ForNas tersebut
masih perlu dilakukan evaluasi karena masih banyak kekurangannya.
Apabila
Formularium Rumah Sakit telah ada, maka penulisan resep dan obat yang tersedia
harus mengikuti aturan seperti yang tercantum di dalamnya. Masalahnya adalah
terkait dengan jenis dan jumlah obat yang harus disediakan. Kondisi pasien yang
datang ke rumah sakit ada yang bisa diprediksi, namun ada juga yang tidak.
Pasien dengan penyakit kronis atau menahun, biasanya mendapat obat rutin yang
sama secara terus menerus. Jenis obat untuk pasien dengan penyakit kronis
biasanya bisa diprediksi, termasuk jumlah yang diperlukan. Namun, pasien gawat
darurat dan pasien dengan penyakit akut umumnya tidak bisa diperkirakan jenis
dan jumlah obatnya. Instalasi farmasi mengatasi kondisi ini dengan melakukan
tahapan berikutnya yaitu Perencanaan, yang tepat dan cermat.
Perencanaan
kebutuhan obat di rumah sakit memerlukan komitmen dan keahlian tersendiri.
Tidak sekedar karena adanya bujukan dan rayuan dari agen perusahaan farmasi
yang datang. Bukan karena adanya bonus atau diskon besar yang begitu menggoda.
Juga bukan karena kepentingan lain yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan
pasien. Secara teori, perencanaan dapat menggunakan metode konsumsi,
epidemiologi ataupun kombinasi keduanya yang disesuaikan dengan anggaran yang
tersedia. Tujuan adalah untuk mendapatkan jenis dan jumlah obat yang sesuai
dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan, menghindari terjadinya stock out
dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Inti dari
berhasilnya pengelolaan obat di rumah sakit adalah fokus pada pelayanan kepada
pasien. Meskipun sudah dilakukan seleksi, perencanaan dan pengadaan obat sesuai
dengan teori yang ada, namun apabila dalam pelaksanaannya tidak ada komitmen
dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan obat ini, maka saya berani katakan
kehancuran sistem akan segera terjadi. Bayangkan saja, bila obat yang sudah
direncanakan bersama antara tenaga medis, manajemen, instalasi farmasi, kemudian
diadakan dalam jumlah besar dengan biaya yang besar, namun ternyata dokternya
tidak menuliskan obat-obatan sesuai daftar obat rumah sakit. Akibatnya obat
menumpuk tidak jelas.
Definisi
stok kosong adalah jumlah stok akhir obat sama dengan nol. Stok gudang
mengalami kekosongan dalam persediaannya sehingga bila ada permintaan tidak
bisa terpenuhi. Faktor-faktor penyebab terjadinya stok kosong, menurut
pengalaman, adalah tidak terdeteksinya obat yang hampir habis, hanya ada
persediaan yang kecil untuk obat-obat tertentu, barang yang dipesan belum
datang, PBF (Pedagang Besar Farmasi) mengalami kekosongan atau pemesanannya
ditunda oleh PBF. Selain itu, apabila terdapat kondisi yang luar biasa, yang
menyebabkan pasien bertambah banyak luar biasa, juga bisa menyebabkan
kekosongan stok obat.
Berbagai
cara perlu dicoba oleh manajemen rumah sakit agar kebutuhan obat pasien
terpenuhi secara lengkap. Lengkap tidaklah berarti semua obat ada, namun
lengkap berarti semua yang diperlukan pasien terpenuhi. Pengelolaan obat di
rumah sakit sesuai peraturan perundangan yang berlaku dikelola oleh instalasi
farmasi dengan sistem satu pintu. Tujuannya agar pengelolaan bisa efektif dan
efisien. Namun yang perlu dipertimbangkan lagi adalah masalah kompetensi sumber
daya manusia (SDM) yang menanganinya. Undang-undang menyebutkan bahwa
Apoteker-lah yang mempunyai kompetensi terhadap pekerjaan kefarmasian dan
barang siapa yang melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa ada kewenangan maka
akan berhadapan dengan hukum pidana. Banyak rumah sakit, yang tidak mematuhi
hal ini, terutama bagian pengadaannya, bahkan ada surat pesanan obat yang tidak
ditandatangani oleh Apoteker. Lebih parah lagi, pihak PBF melayani pesanan obat
yang tidak sesuai dengan standar.
Kekosongan
obat akan bermasalah bagi pasien, namun kelebihan stok obat juga akan
menimbulkan masalah bagi rumah sakit itu sendiri. Pengadaan obat yang tidak
untuk kebutuhan pasien, misalnya hanya karena tergiur bonus dan diskon, akan
menyebabkan stok obat menumpuk. Obat akan menjadi rusak dan kadaluarsa karena
tidak dipakai. Akhirnya rumah sakit menanggung kerugian yang seharusnya bisa
dicegah. Tanggung jawab pengelolaan obat adalah kompetensi farmasi, namun dasar
seleksi dan pemilihannya merupakan hasil kesepakatan dengan dokter penulis
resep. Oleh karena itu, rumah sakit seharusnya memang memiliki Komite Farmasi
Terapi (KFT) yang anggotanya dokter, apoteker dan perawat. Adanya KFT ini juga
merupakan syarat untuk akreditasi rumah sakit tentunya ini berarti penting bagi
kepentingan keselamatan pasien (patient safety) .